Mau Bangun Rumah Cluster Tapi Takut Dengan PSU

psu

Saat ini, khususnya di perkotaan, pembangunan perumahan dengan konsep cluster sudah sedemikian masifnya. Cluster atau Kavling Siap Bangun (KSB) dengan jumlah lahan maupun unit rumah yang terbatas seolah seperti menjadi tren alternatif dalam memilih rumah di kawasan perkotaan atau di lokasi yang masih dibilang strategis.

Bukan tanpa sebab, mengingat lahan yang luas di kawasan perkotaan sudah tidak tersedia, dan sebagaimana akibat perkembangan sebuah kota, maka lahan yang luaspun hanya tersedia di pinggiran kota. Wajar jika kemudian rumah cluster yang relatif tidak membutuhkan lahan yang teramat luas, tumbuh bak jamur di musim hujan, khususnya di kawasan perkotaan.

Dengan kecenderungan luas lahan yang tidak lebih dari satu hektar, bahkan mayoritas mungkin hanya bermodalkan lahan dengan luasan tidak lebih dari setengah hektar atau 5.000 meter persegi, cluster tentunya menghadirkan kelebihan dan kekurangan. Namun, kelebihan dan kekurangan dari keberadaan cluster tidak akan dibahas dalam artikel ini.

Baca juga: Beda Hak Guna Bangunan, Hak Milik, Dan Hak Guna Usaha 

rumah cluster minimalisDisisi lain, eksistensi cluster di kawasan perkotaan, pada gilirannya menginspirasi pemilik tanah dan pemodal untuk juga membangun cluster di wilayah pinggiran kota, berkompetisi dengan pengembang-pengembang besar yang memiliki puluhan atau ratusan hektar lahan siap bangun.

Ada hal menggilitik ketika seorang bapak pemilik tanah, sebut saja calon pengembang cluster, hendak mengajukan permohonan untuk membangun cluster diatas tanahnya dan terkesan seperti menolak ketentuan yang jelas-jelas sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas (PSU) Perumahan dan Permukiman di Daerah.

Baca juga: Mencari Rumah Idaman Dambaan Keluarga

Padahal aturan tersebut menjadi rujukan yang pasti bagi pemerintah daerah manapun dalam menerbitkan regulasi berupa perda didaerahnya terkait pengembangan perumahan, cluster, kavling siap bangun, atau apapun sebutannya, dengan tujuan akhir berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Kembali lagi ke si calon pengembang cluster, lahan yang dimilikinya tidak cukup luas untuk ukuran rencana pengembangan cluster, tercatat di surat tanah Sertipikat Hak Milik-nya (SHM) tidak lebih dari 1.000 meter persegi. Sesuai Permendagri diatas, proporsi yang nantinya dapat dituangkan melalui site plan, antara yang terbangun dengan yang tidak terbangun, harus 60:40.

Artinya, 60% lahan dapat dibangun, sedangkan sisanya, 40% lahan diperuntukkan bagi tersedianya prasarana (jalan, saluran), sarana (lahan untuk aktifitas sosial penghuni cluster), dan utilitas (jaringan listrik, jaringan air, jaringan komunikasi, dan jaringan gas).

Jika saja 1 meter dihargai Rp 1 juta, maka untuk 1.000 meter, si calon pengembang cluster sudah memiliki aset modal senilai Rp 1 miliar, bayangkan jika tanahnya berlokasi di pinggir jalan utama, tentu harganya bisa diatas Rp 1 juta/meter. Faktanya memang lahannya berada di pinggir jalan utama.

Baca juga: Minat Jadi Pengembang Properti Syariah? Bergabung Di APSI

Dengan nilai aset modal diatas dan dikomparasi sesuai gambaran proporsi 60:40, dengan serta merta si calon pengembang cluster berpikir dilematis, bermaksud ingin mengelola lahannya untuk meraup untung, namun saat itu juga dia seolah sudah langsung merasakan rugi, karena dalam benaknya, 60% lahannya atau sama dengan Rp 600 juta adalah aset yang dapat dikelolanya untuk meraup keuntungan, namun disisi lainnya dia merasa rugi yang tidak sedikit untuk 40% lahannya, atau setara dengan Rp 400 juta yang harus diserahkannya kepada pemerintah daerah.

Sebenarnya tidak serta merta demikian, jika saja si calon pengembang cluster ini telah memiliki sikap mental sebagai seorang pengembang properti, sehingga dapat berpikir dengan menempatkan dirinya layaknya seorang calon pembeli cluster.

Dan benar saja, ketika ditanyakan, apakah bapak saat ini tinggal di dalam lingkungan perumahan? Dijawab iya oleh si calon pengembang cluster. Lalu ketika ditanyakan lebih lanjut, apakah di lingkungan perumahannya tersedia jalan, saluran, lahan sosial seperti masjid, musholla, ruang pertemuan warga? Dijawab iya, dan malah disertai dengan kalimat embel-embel, akan seperti apa jika perumahan tanpa adanya itu semua.

Hehe…gak sadar ya pak? Kalau sebenarnya pertanyaan yang diajukan dan kemudian pernyataan yang bapak buat itu ditujukan untuk bapak sendiri selaku calon pengembang rumah cluster.

Baca juga: Penyederhanaan Regulasi Pengembang Properti

Kalau ditanyakan lebih lanjut lagi, apakah iya rumah tinggal bapak saat ini, katakanlah luasnya 300 meter persegi, kesemuanya dibangun tertutup rapat dengan pasangan bata, tanpa ada yang terbuka sedikitpun misalnya untuk carpot-kah, atau taman? Ya kecuali bapak sedang membangun hanggar atau gudang, atau juga mengabaikan aspek kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, dan tentu saja estetika.

Untuk kasus ini, janganlah berpikir teramat sempit dalam menyikapi sebuah regulasi. Masih banyak aspek lain yang dapat digunakan untuk tetap mengoptimalkan nilai aset, sehingga tidak melulu terbayang  akan kerugian semata, sebenarnya kan bisa saja kerugian itu di konversi ke hal lainnya sepanjang untuk tujuan menciptakan profit.[ppc]

Sumber gambar: kampuzsipil.blogspot.com

Be Sociable, Share!

5 thoughts on “Mau Bangun Rumah Cluster Tapi Takut Dengan PSU

  1. Pingback: 5 Kota Ini Wajibkan Pengembang Sediakan TPU | ProfPerti

  2. Pingback: Berburu Rumah Subsidi Pemerintah Bagi Golongan MBR | ProfPerti

  3. Pingback: Beda Hak Guna Bangunan, Hak Milik, Dan Hak Guna Usaha - ProfPerti

  4. Pingback: Biaya Yang Timbul Saat Membeli Rumah KPR - ProfPerti

  5. Pingback: Berburu Rumah Subsidi Pemerintah Bagi Golongan MBR - ProfPerti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.